Saturday, 31 May 2025

Tulisan Feature : Saat Madinah Mengajarkan Cara Merindu

 


Ada kota yang tidak hanya menyimpan sejarah, tapi juga menyentuh hati dengan keheningan dan kasih. Madinah kota cahaya, kota yang dipilih Rasulullah untuk menetap dan wafat.

Pada 21 Februari 2022, langkah pertama saya menginjak tanah itu terasa seperti menjejak antara dunia dan keabadian. Udara dingin menyambut pelan, seolah memberi pelukan hangat dari langit Madinah yang penuh berkah. Namun sebelum sampai ke sini, perjalanan saya telah dimulai dengan karantina satu hari pada 18 Februari, bagian dari protokol pandemi yang masih melingkupi dunia saat itu.

Tanggal 19 Februari pukul 18:00, saya lepas landas dengan Qatar Airways menuju tanah suci. Transit satu jam di Qatar terasa singkat, dan langit masih gelap saat saya tiba di Madinah pukul 04:00 dini hari, 20 Februari. Sesampainya di sana, kami langsung menjalani karantina tiga hari di hotel dengan sunyi dan menunggu penuh harap.

Namun, siapa sangka bahwa takdir Allah akan membukakan pintu-Nya lebih cepat dari yang saya duga...

Pada hari kedua karantina, tanggal 21 Februari 2022, saya sedang berselancar di Instagram dan melihat siaran langsung dari Almarhum Koh Steven, pendiri Mualaf Center Indonesia, yang ternyata juga sedang berada di Masjid Nabawi. Dalam siaran itu, saya menuliskan sebuah pertanyaan sederhana di kolom komentar: bagaimana cara masuk ke Masjid Nabawi di masa pandemi? Tak disangka, pertanyaan itu menjadi jalan pembuka karena beliau langsung meminta saya untuk mengirim pesan pribadi di Instagram. Tepat setelah siaran langsung beliau berakhir, tidak sampai lima menit, beliau datang menjemput saya di hotel.

Hari itu, saya melangkah masuk ke Masjid Nabawi untuk pertama kalinya. Tanpa hambatan, tanpa harus menunggu masa karantina usai. Di tengah atmosfer spiritual yang pekat, saya menunaikan shalat, sebuah pengalaman yang tak bisa saya lukiskan dengan kata-kata. Usai shalat, Koh Steven duduk bersama saya di dalam masjid dan mulai bercerita tentang sejarah Masjid Nabawi yang beliau ketahui.

Dengan penuh semangat dan cinta, beliau menunjuk sebuah arah lurus yang membentang dari kamar Rasulullah di rumah Siti Aisyah yang sekarang menjadi bagian dari area Rawdah menuju ke Gunung Uhud. Katanya, jalan itu adalah jalur lurus yang dahulu bisa saja dilalui Rasulullah bersama para sahabatnya ketika hendak menuju medan perang Uhud. Beliau berkata, “Bisa saja yang kita injak saat ini ada jejak-jejak kaki Nabi dan para sahabat.” Kalimat itu langsung membuat bulu kuduk saya berdiri. Seakan sejarah yang selama ini hanya saya baca, kini hidup kembali di hadapan mata.

Koh Steven juga menunjukkan lokasi-lokasi penting lainnya yang ada di sekitar masjid. “Itu dulu rumah Abu Bakar,” katanya sambil menunjuk menara Masjid Abu Bakar. Lalu ia menunjuk ke sisi lain, “Di sana rumah Umar bin Khattab, dan di sana rumah Ali bin Abi Thalib.” Semuanya telah berubah, dialih fungsikan menjadi masjid di sekitar Masjid Nabawi yang hanya dibuka saat waktu shalat, namun jejak sejarahnya tetap hidup. Saya merasa seperti sedang berjalan bersama para sahabat Nabi, merasakan kedekatan yang tak pernah saya bayangkan sebelumnya.

Setelah momen penuh makna itu, Koh Steven memberikan saya hadiah: sebotol parfum yang beraroma Hajar Aswad dan air zamzam, untuk dibawa pulang ke hotel. Bukan sekadar benda, tapi kenangan yang terus menguar harum hingga hari ini.

Berkat informasi dan dorongan dari beliau, siangnya saya membawa keluarga saya ikut shalat ke Masjid Nabawi. Ternyata, pemerintah Saudi benar-benar memudahkan bagi siapa pun yang ingin beribadah. Prosedur tidak serumit yang dibayangkan, terutama bagi mereka yang tulus datang untuk menyambut panggilan ilahi.

Namun, perjalanan tak selalu mulus. Ada kesalahan dari pihak travel mengenai tanggal masuk ke Raudhah. Seluruh jamaah akhirnya tidak bisa mengunjungi taman surga itu. Tapi, sekali lagi, qadarullah berlaku. Saya mendapat kesempatan langka masuk ke Raudhah di malam hari, saat suhu Madinah mencapai 16 derajat. Udara dingin membalut tubuh, namun hati terasa hangat dan air mata berurai tak tertahan. Di sana, saya bersujud, menangis dalam doa, merasakan keheningan yang hanya diisi oleh lantunan Qur'an, panggilan adzan, dan kicauan burung.

Hari-hari di Madinah berjalan tenang, damai, dan suci. Tidak ada hiruk pikuk manusia, tidak ada deru kendaraan. Yang terdengar hanya nyanyian langit dan bisikan hati yang penuh harap. Saya mulai memahami mengapa Madinah begitu dicintai, mengapa Rasulullah memilih kota ini sebagai tempat hijrah dan wafatnya. Tepat seperti doa Rasulullah “Ya Allah, jadikanlah kami cinta kepada Madinah, sebagaimana Engkau membuat kami mencintai Mekah, atau bahkan lebih besar lagi.”

Hingga tiba waktu perpisahan. Saya berdiri di depan Kubah Hijau, berbicara dengan Rasulullah dalam hati, meluapkan perasaan yang sulit diungkapkan. Ketika saya berbalik untuk pergi, dada saya seperti ditimpa rindu yang baru. Rasanya seperti meninggalkan kekasih yang sedang menatap kepergian kita dengan penuh khawatir. Seperti ada suara yang bertanya pada diri ini: “Apakah kau akan lupa padaku nanti? Apakah kau akan ingat pesan-pesanku?”

Air mata pun jatuh tanpa diminta. Saya teringat Bilal bin Rabah, muazin kesayangan Rasulullah, yang tak sanggup lagi mengumandangkan adzan setelah Rasulullah wafat. Jika saya yang baru sebentar menginjak tanah ini saja begitu pilu, bagaimana dengan Bilal yang hidup bersama dengan Rasulullah?

Saya tahu, saya meninggalkan Madinah untuk menuju Makkah, kota yang dibebaskan oleh Rasulullah. Tapi berat hati ini meninggalkan Madinah, kota cinta, kota cahaya, kota tempat Rasulullah beristirahat.

Dan hingga hari ini, di antara riuh kehidupan dunia, saya masih sering mendengar gema itu, lantunan Qur'an dari Masjid Nabawi, dan pertanyaan lembut yang terus bergema di hati: “Apakah kau akan lupa padaku nanti?”


Wednesday, 14 May 2025

Komunikasi Organisasi 6 : Playing Victim dalam Organisasi Menurut Ibu Serepina Tiur Maida




Kerja bareng tapi kok drama,
Sedikit salah langsung ngambek.
Main korban jadi senjatanya,
Bikin suasana kantor jadi tegang dan ribet!

Halo teman-teman!

Pernah nggak sih kamu kerja bareng orang yang tiap ada masalah, selalu merasa paling tersakiti? Yang dikit-dikit bilang “aku cuma korban”, padahal semua orang tahu konflik itu nggak sesederhana itu.

Nah, hati-hati, bisa jadi kamu sedang berhadapan dengan tipe kepribadian yang dikenal sebagai “playing victim”.

Tapi... ini bukan sekadar soal baper ya. Kalau dibiarkan, gaya komunikasi kayak gini bisa diam-diam jadi racun di organisasi bikin komunikasi mandek dan kerja tim berantakan.

Yuk, kita bahas bareng gimana sih pola “playing victim” itu bekerja, dan kenapa penting banget buat kita peka terhadap gaya komunikasi semacam ini!


Playing Victim: Kelihatan Lemah, Tapi Bikin Lingkungan Nggak Sehat

Tipe ini sering tampil seolah-olah jadi korban dalam setiap situasi. Awalnya mungkin kamu iba, tapi lama-lama… kok kayak ada yang nggak beres, ya?

Ciri-cirinya?

  • Sering memutarbalikkan fakta supaya kelihatan sebagai pihak yang dizalimi.

  • Nolak kritik dengan dalih “aku diserang”.

  • Mengalihkan topik pembicaraan supaya nggak perlu bertanggung jawab.

  • Bikin suasana tim jadi tegang, padahal masalahnya bisa selesai kalau dibicarakan baik-baik.

Masalahnya, ini bukan cuma soal perasaan. Kalau main victim terus-terusan, komunikasi jadi nggak terbuka. Konflik nggak pernah selesai karena selalu ada drama, dan ujung-ujungnya: kepercayaan antaranggota tim ikut rusak.


Kok Bisa Mengganggu Komunikasi di Organisasi?

Bayangin gini: ada tim kerja yang solid, tapi satu orang selalu merasa diperlakukan nggak adil. Tiap ada evaluasi, dia ngambek. Tiap ada target, dia bilang, “Aku sih nggak dianggap.”
Padahal, semua orang kerja keras, dan si ‘korban abadi’ ini malah menyerap energi tim.

Efeknya?

💣 Motivasi kerja turun
💣 Komunikasi jadi serba hati-hati, takut “bikin dia tersinggung”
💣 Keputusan tim jadi nggak objektif
💣 Budaya organisasi pelan-pelan jadi toxic

Yang paling bikin frustasi: perhatian tim dan pimpinan jadi tersedot buat drama personal, bukan buat kemajuan bersama.


Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Kalau kamu merasa pernah jadi ‘korban’ dari gaya komunikasi kayak gini, atau malah sadar kamu sendiri pernah main victim tenang, semua bisa diperbaiki asal mau refleksi dan belajar.

Yang penting:
Bangun komunikasi yang asertif
Bicara jujur dan terbuka, tapi tetap dengan respek. Beda banget lho sama playing victim yang sering ‘melarikan diri’ dari tanggung jawab.

Peka terhadap sinyal manipulatif
Kalau ada yang selalu merasa jadi korban dan menghindar dari dialog sehat, coba ajak ngobrol satu lawan satu. Kadang mereka sendiri nggak sadar sedang memainkan pola itu.

Ciptakan budaya feedback yang sehat
Kritik itu perlu, tapi harus disampaikan dengan empati. Dan yang dikritik juga harus belajar menerimanya dengan dewasa.

Edukasi literasi komunikasi
Di zaman digital kayak sekarang, drama playing victim nggak cuma muncul di kantor, tapi juga di media sosial. Yuk, bareng-bareng belajar komunikasi yang sehat, baik di dunia nyata maupun online.


Kesimpulan: Jangan Takut Hadapi, Tapi Hadapi dengan Baik

“Playing victim” bukan soal siapa yang paling menderita. Ini soal cara berkomunikasi yang bisa mempengaruhi dinamika satu tim, bahkan organisasi secara keseluruhan.

Komunikasi yang sehat itu butuh keberanian buat jujur, buat bertanggung jawab, dan buat tetap menghargai orang lain meski sedang berbeda pendapat.

Jadi, yuk kita bangun lingkungan kerja dan sosial yang lebih terbuka, tanpa drama yang nggak perlu. Karena setiap orang punya peran penting, dan semua suara layak dihargai.


Sumber : Tulisan ini diadaptasi dari artikel asli oleh Ibu Serepina Tiur Maida, S.Sos., M.Pd., M.I.Kom (dosen ilmu komunikasi, pemerhati sosial, dan kolumnis Majalah NARWASTU)

📖 Baca versi lengkapnya di:
https://www.narwastu.id/2025/05/kepribadian-playing-victim-dalam-organisasi-ancaman-diam-bagi-komunikasi-dan-kolaborasi.php

Saturday, 10 May 2025

Komunikasi Organisasi 5 : Mau komunikasi kamu lebih Ngena?? - Strategi Komunikasi Verbal dan Non Verbal



Yuk, Kenalan Sama Strategi Verbal dan Non-verbal!

Halo teman-teman!

Pernah nggak sih kamu merasa udah ngomong panjang lebar, tapi lawan bicara kayaknya nggak nangkep juga maksudmu? Atau pas presentasi, audiens lebih sibuk ngecek HP daripada dengerin kamu? Bisa jadi bukan apa yang kamu sampaikan yang kurang, tapi gimana kamu menyampaikannya.

Nah, komunikasi itu bukan cuma soal kata-kata. Ada seninya, ada strateginya. Dan menariknya, ada dua sisi yang harus kamu perhatikan: verbal dan non-verbal.

Yuk kita bahas satu per satu!

1. Strategi Komunikasi Verbal  “Kata-Kata yang Kena di Hati”

Komunikasi verbal itu ibarat fondasi rumah. Kalau salah struktur, ya bakal goyang. Tapi kalau dibangun dengan tepat, bisa bikin pesanmu berdampak dan dimengerti.

Berikut tips jitu biar kata-katamu makin ‘nendang’:

Pakai bahasa yang jelas dan sederhana
Nggak usah sok pakai istilah ribet. Bahasa sehari-hari justru bikin pesanmu lebih nyambung. Yang penting: to the point!

Struktur pesan dengan rapi
Mulai dari inti pesannya dulu, baru tambahkan penjelasan pendukung. Jangan bikin orang bingung harus nangkep dari mana.

Sesuaikan gaya komunikasi
Ngobrol sama rekan kerja beda dong sama ngobrol sama atasan atau klien. Pahami konteks, lalu adaptasi gaya ngomongmu.

Berikan contoh konkret
Misalnya kamu ngomong soal “inovasi”, coba beri ilustrasi nyata biar audiens nggak cuma bayangin yang abstrak.

Gunakan pertanyaan terbuka
Daripada nanya “Kamu ngerti?”, coba tanya “Menurut kamu, gimana cara kita ngembangin ide ini?” Bikin diskusi jadi hidup!

Beri umpan balik yang membangun
Kalau mau ngasih kritik, fokuslah pada perilaku, bukan pribadi. Dan tentu aja: kasih solusi, bukan cuma komentar.

2. Strategi Komunikasi Non-verbal  “Bicara Tanpa Kata Juga Penting!”

Nah, kalau verbal itu suara, sedangkan non-verbal itu bahasa tubuhmu. Kadang tanpa bicara pun, orang bisa tahu kamu antusias, gugup, atau nggak peduli semuanya bisa ‘kebaca’ dari sikapmu.

Yuk, perhatikan hal-hal ini:

Kontak mata yang pas
Terlalu intens bikin lawan bicara nggak nyaman, tapi kalau terlalu sedikit bisa kelihatan nggak percaya diri. Cari keseimbangan, ya!

Ekspresi wajah harus mendukung isi pesan
Ngomongin kabar baik ya jangan wajahnya datar kayak baca laporan keuangan. Tunjukkan ekspresi yang sesuai.

Postur tubuh juga bicara
Badan tegak, bahu terbuka, dan berdiri kokoh = percaya diri. Tapi jangan kaku kayak robot juga, santai tapi sigap.

Gunakan gerakan tangan secukupnya
Gerakan tangan bisa bantu menjelaskan, tapi jangan lebay sampai kayak sedang senam.

Perhatikan jarak
Ngobrol sama orang beda budaya? Hati-hati soal jarak. Di beberapa konteks, terlalu dekat bisa dianggap mengganggu.

Kontrol nada suara
Variasikan tinggi-rendah suara, mainkan volume dan tempo. Ini penting banget biar pesanmu nggak terdengar monoton.

Kesimpulan: Komunikasi yang Kuat, Bukan Cuma dari Mulut

Jadi, kalau kamu pengen komunikasi yang efektif baik di kantor, saat presentasi, atau bahkan ngobrol santai jangan cuma fokus ke apa yang kamu sampaikan, tapi juga bagaimana kamu menyampaikannya.

Ingat: kata-kata punya daya, tapi bahasa tubuh dan nada suara adalah senjatanya.
Pakai strategi verbal dan non-verbal secara seimbang, dan kamu bakal jadi komunikator yang lebih percaya diri, efektif, dan tentu saja: berkesan!

Kalau kamu pengen upgrade skill komunikasi tim juga, share tulisan ini ya! Siapa tahu jadi bahan diskusi seru di meeting mingguan.

Sumber  :
Artikel ini mengacu materi dari Pak Wahyudiono dalam tulisan berjudul "Komunikasi Efektif" yang dipublikasikan di blog pribadinya.
Untuk informasi lengkap dan referensi lebih lanjut, silakan kunjungi:
https://wahyudiono83.blogspot.com/2025/05/komunikasi-efektif.html

Friday, 9 May 2025

Komunikasi Organisasi 4 : Yes Man di Kantor - Rajin Banget atau Diam-Diam Tertekan? Yuk Kupas Bareng!






Pantun pembuka dulu, biar nggak tegang:

Bos ngomong langsung dijawab,
“Siap, Pak! Aman, Bu!”
Semua tugas langsung diserap,
Tapi hati kecil bilang: “Kok gue mulu?”


Halo, teman-teman!

Pernah kenal atau justru kamu sendiri tipe karyawan yang nggak pernah bilang "nggak"? Apa pun tugasnya mau sesuai job desc atau enggak—langsung angguk, senyum, dan jawab "Siap!" tanpa banyak tanya?

Kalau iya, selamat datang di dunia para Yes Man. Di permukaan, mereka ini kelihatan super rajin, bisa diandalkan, dan selalu jadi andalan tim. Tapi… apakah semua “iya” itu sehat buat karier dan komunikasi dalam organisasi?

Yuk, kita bahas tuntas!

Siapa Sih Si "Yes Man" Ini?

"Yes Man" adalah sebutan buat karyawan yang selalu mengiyakan permintaan, tugas, atau ide dari atasan maupun rekan kerja meskipun sebenarnya ia merasa keberatan, tidak mampu, atau itu di luar tanggung jawabnya.

Dia jarang (atau bahkan nggak pernah) bilang "tidak". Mungkin karena takut mengecewakan, takut dianggap tidak kooperatif, atau karena ingin terlihat loyal 100%.

Dampak Positif Jadi Yes Man (Nggak Selalu Buruk, Kok)

Dianggap Fleksibel dan Siap Bantu: Yes Man sering dilihat sebagai tim player sejati nggak ribet, selalu sedia, dan kelihatan berdedikasi.
Peluang Dikenal Lebih Cepat: Karena sering muncul dan terlibat di banyak proyek, Yes Man bisa lebih cepat dikenal oleh atasan.
Belajar Banyak Hal Baru: Dikasih tugas macam-macam? Bisa jadi kesempatan belajar lintas fungsi!


Tapi... Hati-Hati, Ini Dampak Negatifnya

Overload dan Burnout: Karena selalu bilang "iya", pekerjaan menumpuk. Lama-lama capek sendiri.
Dilupakan Job Desc Sendiri: Terlalu fokus bantuin orang lain, tugas utamanya malah keteteran.
Jadi Target Eksploitasi: Rekan kerja (atau atasan) yang sadar kamu nggak pernah nolak bisa saja “nitip kerjaan” terus.
Kesulitan Pasang Batasan: Akhirnya susah buat bilang “cukup” dan komunikasi pun jadi nggak sehat. Diam-diam makan hati!


Lalu, Bagaimana Seharusnya Yes Man Berkomunikasi?

Tenang, bukan berarti harus jadi "No Man" juga ya! Kuncinya ada di komunikasi asertif: berani menyampaikan pendapat secara jujur tapi tetap sopan dan menghargai.

Berikut tipsnya:

Gunakan Bahasa yang Tegas Tapi Ramah: Misalnya, “Saya sebenarnya sedang menyelesaikan laporan utama, boleh kita bahas prioritasnya dulu?”
Tawarkan Alternatif: Kalau nggak bisa bantu sekarang, beri opsi waktu lain atau orang lain yang lebih tepat.
Kenali dan Tegaskan Job Desc-mu: Bukan buat ngeles, tapi biar jelas tanggung jawab utamamu apa.
Latih Diri Mengucap "Tidak" dengan Elegan: Kadang “tidak” adalah bentuk jujur dan profesional.


Kesimpulan: Jadi Yes Man Boleh, Tapi Jangan Kehilangan Suara

Mengiyakan segala hal bisa bikin kamu terlihat super helpful, tapi jangan sampai malah jadi orang yang diam-diam stres, kehilangan arah, atau dimanfaatkan terus-terusan.

Ingat, komunikasi yang sehat itu bukan cuma soal “iya” atau “tidak”, tapi soal bagaimana kamu menyampaikan batasanmu dengan jelas dan hormat.

Karena di dunia kerja, keberanian untuk bersuara dengan bijak adalah salah satu bentuk loyalitas juga—loyal terhadap pekerjaan, tim, dan juga dirimu sendiri.

Kalau kamu merasa mulai jadi Yes Man, yuk belajar bilang “tidak” tanpa rasa bersalah. Karena kadang, menolak dengan cara yang baik justru menunjukkan kamu tahu prioritas dan bisa dipercaya 💪


Sumber :
https://glints.com/id/lowongan/bahaya-yes-man/


Thursday, 8 May 2025

Komunikasi Organisasi 3 : Menyelami Dinamika Kelompok: Dari Kohesi hingga Polarisasi bersama Ibu Serepina Tiur Maida, S.Sos., M.Pd., M.I.Kom




Di tepi danau burung merpati,
Terbang rendah menyapa pagi.
Manusia tak hidup sendiri,
Dalam kelompok, jiwanya bersemi.


Pernahkah kamu merasa lebih semangat saat bekerja bersama teman-teman? Atau justru merasa grogi saat harus tampil di depan banyak orang? Semua itu bukan sekadar perasaan biasa—melainkan bagian dari dinamika kelompok yang terjadi secara alami dalam kehidupan sosial kita.

Beberapa waktu lalu, saya menyimak sebuah presentasi menarik berjudul "Manusia dalam Kelompok dan Dinamika Kelompok" oleh Serepina Tiur Maida. Presentasi ini bukan sekadar kumpulan teori, melainkan semacam refleksi atas betapa kompleksnya interaksi kita dalam kelompok sosial. Izinkan saya membagikan kembali isi presentasi itu dengan gaya yang lebih santai dan mengalir, seperti kita sedang ngobrol sore di teras rumah.

Dinamika Kelompok: Hidup, Bergerak, dan Selalu Berubah

Pertama-tama, kita perlu paham bahwa kelompok bukan entitas statis. Dinamika kelompok mencerminkan adanya interaksi dan ketergantungan antar anggotanya. Ini seperti irama dalam orkestra: setiap pemain memengaruhi keseluruhan harmoni.

Menurut Soerjono Soekanto, dinamika sosial dalam kelompok dapat muncul karena berbagai permasalahan, yang kadang mengguncang keteraturan sosial. Sedangkan Slamet Sentosa menekankan pentingnya hubungan psikologis antar anggota—semacam ikatan emosional yang membuat kelompok terasa “hidup”.

Kohesivitas: Lem yang Merekatkan Anggota Kelompok

Apa yang membuat kita betah dalam suatu kelompok? Jawabannya adalah kohesivitas. Ini bukan cuma soal suka sama suka, tapi juga tentang bagaimana kita merasa terikat satu sama lain. Kelompok yang kohesif biasanya punya semangat tinggi, rasa kebersamaan, dan komitmen terhadap tujuan yang sama.

Brown dan para rekannya menyebutkan bahwa kohesivitas bisa dipengaruhi oleh persahabatan antar anggota, efisiensi kerja sama, dan kesesuaian tujuan individu dengan tujuan kelompok. Jadi kalau kamu merasa nyaman di kelompok kerja yang sekarang, bisa jadi karena ada kohesivitas yang kuat di sana.

Groupthink: Saat Kekompakan Bisa Menyesatkan

Tapi hati-hati. Kadang kekompakan yang terlalu tinggi bisa menutup ruang kritik. Inilah yang disebut groupthink—fenomena ketika kelompok membuat keputusan buruk karena tidak mempertimbangkan alternatif lain. Mereka merasa yakin tak terkalahkan, dan suara yang berbeda ditekan atau diabaikan. Hasilnya? Keputusan yang kadang malah tidak logis.

Group Polarization: Ketika Diskusi Membuat Pendapat Makin Ekstrem

Fenomena lain yang menarik adalah group polarization. Ini terjadi saat diskusi kelompok justru mendorong anggota ke posisi yang lebih ekstrem daripada saat mereka berpikir sendiri. Misalnya, seseorang yang awalnya netral bisa jadi sangat pro atau kontra setelah diskusi panjang. Menariknya, ini dibuktikan oleh James Stoner pada tahun 1968, yang menemukan bahwa keputusan kelompok cenderung lebih berisiko dibanding keputusan individual.

Fasilitasi Sosial dan Hambatan Sosial

Pernah merasa tampil lebih hebat saat dilihat orang lain? Itulah yang disebut social facilitation—ketika kehadiran orang lain justru memacu kita untuk tampil lebih baik. Konsep ini ditemukan sejak 1898 oleh Norman Triplet, saat ia mengamati pengendara sepeda yang lebih cepat saat berlomba daripada saat sendirian.

Namun tidak semua reaksi terhadap audiens bersifat positif. Ada juga yang disebut social inhibition, yaitu ketika kita justru tampil lebih buruk saat dilihat orang lain. Menurut teori distraction-conflict, ini terjadi karena otak kita terbagi antara memberi perhatian pada tugas dan pada orang-orang yang menonton. Kalau tugasnya sulit dan tekanannya tinggi, hasilnya bisa mengecewakan.

Antara Tantangan dan Ancaman

Penelitian Jim Blascovich dan koleganya memberikan sentuhan menarik dalam pemahaman ini. Mereka menyebutkan bahwa kehadiran orang lain bisa memicu dua reaksi berbeda: tantangan atau ancaman. Kalau kita merasa siap, kita melihat situasi sebagai tantangan. Tapi kalau kita merasa tidak mampu, situasinya terasa seperti ancaman. Ini menentukan apakah kita akan tampil maksimal atau justru terpaku.


Kesimpulan

Kehidupan dalam kelompok adalah sebuah perjalanan sosial yang penuh warna—kadang menyenangkan, kadang menantang. Dinamika kelompok menunjukkan bahwa hubungan antar manusia tak pernah statis. Ia terus bergerak, membentuk pola-pola interaksi yang bisa menguatkan atau justru melemahkan struktur sosial yang ada.

Melalui konsep seperti kohesivitas, groupthink, polarisasi, hingga fasilitasi dan hambatan sosial, kita bisa memahami lebih dalam bagaimana sebuah kelompok bekerja. Bukan hanya soal berada bersama-sama, tapi bagaimana kita saling memengaruhi, saling menguatkan, atau bahkan tanpa sadar saling menjatuhkan keputusan.

Menjadi bagian dari kelompok bukan soal mengikuti arus, tetapi juga tentang bagaimana kita tetap menjaga kesadaran diri, berkontribusi, dan berani menyuarakan perbedaan dengan bijak. Karena pada akhirnya, kelompok yang sehat adalah kelompok yang mampu tumbuh bersama—tanpa kehilangan identitas masing-masing anggotanya.


Sumber : 

Manusia dalam Kelompok & Dinamika Kelompok
Pertemuan 7 Komunikasi Organisasi Ibu Serepina Tiur Maida, S.Sos., M.Pd., M.I.Kom

Komunikasi Organisasi 10 : Kampus Bukan Cuma Kuliah: Ada Dosen, Serikat, dan Cerita!

Halo teman-teman pembelajar komunikasi organisasi, Apa iya kampus itu cuma tempat belajar dan ujian? Padahal di balik aktivitas akademik, a...