Saturday, 31 May 2025

Tulisan Feature : Saat Madinah Mengajarkan Cara Merindu

 


Ada kota yang tidak hanya menyimpan sejarah, tapi juga menyentuh hati dengan keheningan dan kasih. Madinah kota cahaya, kota yang dipilih Rasulullah untuk menetap dan wafat.

Pada 21 Februari 2022, langkah pertama saya menginjak tanah itu terasa seperti menjejak antara dunia dan keabadian. Udara dingin menyambut pelan, seolah memberi pelukan hangat dari langit Madinah yang penuh berkah. Namun sebelum sampai ke sini, perjalanan saya telah dimulai dengan karantina satu hari pada 18 Februari, bagian dari protokol pandemi yang masih melingkupi dunia saat itu.

Tanggal 19 Februari pukul 18:00, saya lepas landas dengan Qatar Airways menuju tanah suci. Transit satu jam di Qatar terasa singkat, dan langit masih gelap saat saya tiba di Madinah pukul 04:00 dini hari, 20 Februari. Sesampainya di sana, kami langsung menjalani karantina tiga hari di hotel dengan sunyi dan menunggu penuh harap.

Namun, siapa sangka bahwa takdir Allah akan membukakan pintu-Nya lebih cepat dari yang saya duga...

Pada hari kedua karantina, tanggal 21 Februari 2022, saya sedang berselancar di Instagram dan melihat siaran langsung dari Almarhum Koh Steven, pendiri Mualaf Center Indonesia, yang ternyata juga sedang berada di Masjid Nabawi. Dalam siaran itu, saya menuliskan sebuah pertanyaan sederhana di kolom komentar: bagaimana cara masuk ke Masjid Nabawi di masa pandemi? Tak disangka, pertanyaan itu menjadi jalan pembuka karena beliau langsung meminta saya untuk mengirim pesan pribadi di Instagram. Tepat setelah siaran langsung beliau berakhir, tidak sampai lima menit, beliau datang menjemput saya di hotel.

Hari itu, saya melangkah masuk ke Masjid Nabawi untuk pertama kalinya. Tanpa hambatan, tanpa harus menunggu masa karantina usai. Di tengah atmosfer spiritual yang pekat, saya menunaikan shalat, sebuah pengalaman yang tak bisa saya lukiskan dengan kata-kata. Usai shalat, Koh Steven duduk bersama saya di dalam masjid dan mulai bercerita tentang sejarah Masjid Nabawi yang beliau ketahui.

Dengan penuh semangat dan cinta, beliau menunjuk sebuah arah lurus yang membentang dari kamar Rasulullah di rumah Siti Aisyah yang sekarang menjadi bagian dari area Rawdah menuju ke Gunung Uhud. Katanya, jalan itu adalah jalur lurus yang dahulu bisa saja dilalui Rasulullah bersama para sahabatnya ketika hendak menuju medan perang Uhud. Beliau berkata, “Bisa saja yang kita injak saat ini ada jejak-jejak kaki Nabi dan para sahabat.” Kalimat itu langsung membuat bulu kuduk saya berdiri. Seakan sejarah yang selama ini hanya saya baca, kini hidup kembali di hadapan mata.

Koh Steven juga menunjukkan lokasi-lokasi penting lainnya yang ada di sekitar masjid. “Itu dulu rumah Abu Bakar,” katanya sambil menunjuk menara Masjid Abu Bakar. Lalu ia menunjuk ke sisi lain, “Di sana rumah Umar bin Khattab, dan di sana rumah Ali bin Abi Thalib.” Semuanya telah berubah, dialih fungsikan menjadi masjid di sekitar Masjid Nabawi yang hanya dibuka saat waktu shalat, namun jejak sejarahnya tetap hidup. Saya merasa seperti sedang berjalan bersama para sahabat Nabi, merasakan kedekatan yang tak pernah saya bayangkan sebelumnya.

Setelah momen penuh makna itu, Koh Steven memberikan saya hadiah: sebotol parfum yang beraroma Hajar Aswad dan air zamzam, untuk dibawa pulang ke hotel. Bukan sekadar benda, tapi kenangan yang terus menguar harum hingga hari ini.

Berkat informasi dan dorongan dari beliau, siangnya saya membawa keluarga saya ikut shalat ke Masjid Nabawi. Ternyata, pemerintah Saudi benar-benar memudahkan bagi siapa pun yang ingin beribadah. Prosedur tidak serumit yang dibayangkan, terutama bagi mereka yang tulus datang untuk menyambut panggilan ilahi.

Namun, perjalanan tak selalu mulus. Ada kesalahan dari pihak travel mengenai tanggal masuk ke Raudhah. Seluruh jamaah akhirnya tidak bisa mengunjungi taman surga itu. Tapi, sekali lagi, qadarullah berlaku. Saya mendapat kesempatan langka masuk ke Raudhah di malam hari, saat suhu Madinah mencapai 16 derajat. Udara dingin membalut tubuh, namun hati terasa hangat dan air mata berurai tak tertahan. Di sana, saya bersujud, menangis dalam doa, merasakan keheningan yang hanya diisi oleh lantunan Qur'an, panggilan adzan, dan kicauan burung.

Hari-hari di Madinah berjalan tenang, damai, dan suci. Tidak ada hiruk pikuk manusia, tidak ada deru kendaraan. Yang terdengar hanya nyanyian langit dan bisikan hati yang penuh harap. Saya mulai memahami mengapa Madinah begitu dicintai, mengapa Rasulullah memilih kota ini sebagai tempat hijrah dan wafatnya. Tepat seperti doa Rasulullah “Ya Allah, jadikanlah kami cinta kepada Madinah, sebagaimana Engkau membuat kami mencintai Mekah, atau bahkan lebih besar lagi.”

Hingga tiba waktu perpisahan. Saya berdiri di depan Kubah Hijau, berbicara dengan Rasulullah dalam hati, meluapkan perasaan yang sulit diungkapkan. Ketika saya berbalik untuk pergi, dada saya seperti ditimpa rindu yang baru. Rasanya seperti meninggalkan kekasih yang sedang menatap kepergian kita dengan penuh khawatir. Seperti ada suara yang bertanya pada diri ini: “Apakah kau akan lupa padaku nanti? Apakah kau akan ingat pesan-pesanku?”

Air mata pun jatuh tanpa diminta. Saya teringat Bilal bin Rabah, muazin kesayangan Rasulullah, yang tak sanggup lagi mengumandangkan adzan setelah Rasulullah wafat. Jika saya yang baru sebentar menginjak tanah ini saja begitu pilu, bagaimana dengan Bilal yang hidup bersama dengan Rasulullah?

Saya tahu, saya meninggalkan Madinah untuk menuju Makkah, kota yang dibebaskan oleh Rasulullah. Tapi berat hati ini meninggalkan Madinah, kota cinta, kota cahaya, kota tempat Rasulullah beristirahat.

Dan hingga hari ini, di antara riuh kehidupan dunia, saya masih sering mendengar gema itu, lantunan Qur'an dari Masjid Nabawi, dan pertanyaan lembut yang terus bergema di hati: “Apakah kau akan lupa padaku nanti?”


No comments:

Post a Comment

Komunikasi Organisasi 10 : Kampus Bukan Cuma Kuliah: Ada Dosen, Serikat, dan Cerita!

Halo teman-teman pembelajar komunikasi organisasi, Apa iya kampus itu cuma tempat belajar dan ujian? Padahal di balik aktivitas akademik, a...