Ada kota yang tidak hanya menyimpan sejarah, tapi juga
menyentuh hati dengan keheningan dan kasih. Madinah kota cahaya, kota yang
dipilih Rasulullah untuk menetap dan wafat.
Pada 21 Februari
2022, langkah pertama saya menginjak tanah itu terasa seperti menjejak antara
dunia dan keabadian. Udara dingin menyambut pelan, seolah memberi pelukan
hangat dari langit Madinah yang penuh berkah. Namun sebelum sampai ke sini,
perjalanan saya telah dimulai dengan karantina satu hari pada 18 Februari,
bagian dari protokol pandemi yang masih melingkupi dunia saat itu.
Tanggal 19 Februari pukul 18:00, saya lepas landas dengan
Qatar Airways menuju tanah suci. Transit satu jam di Qatar terasa singkat, dan
langit masih gelap saat saya tiba di Madinah pukul 04:00 dini hari, 20
Februari. Sesampainya di sana, kami
langsung menjalani karantina tiga hari di hotel dengan sunyi dan menunggu penuh
harap.
Namun, siapa
sangka bahwa takdir Allah akan membukakan pintu-Nya lebih cepat dari yang saya
duga...
Pada hari kedua
karantina, tanggal 21 Februari 2022, saya sedang berselancar di Instagram dan
melihat siaran langsung dari Almarhum Koh Steven, pendiri Mualaf Center
Indonesia, yang ternyata juga sedang berada di Masjid Nabawi. Dalam siaran itu,
saya menuliskan sebuah pertanyaan sederhana di kolom komentar: bagaimana cara
masuk ke Masjid Nabawi di masa pandemi? Tak disangka, pertanyaan itu menjadi
jalan pembuka karena beliau langsung meminta saya untuk mengirim pesan pribadi
di Instagram. Tepat setelah siaran langsung beliau berakhir, tidak
sampai lima menit, beliau datang menjemput saya di hotel.
Hari itu, saya
melangkah masuk ke Masjid Nabawi untuk pertama kalinya. Tanpa hambatan, tanpa
harus menunggu masa karantina usai. Di tengah atmosfer spiritual yang pekat,
saya menunaikan shalat, sebuah pengalaman yang tak bisa saya lukiskan dengan
kata-kata. Usai shalat, Koh Steven duduk bersama saya di dalam masjid dan mulai
bercerita tentang sejarah Masjid Nabawi yang beliau ketahui.
Dengan penuh
semangat dan cinta, beliau menunjuk sebuah arah lurus yang membentang dari
kamar Rasulullah di rumah Siti Aisyah yang sekarang menjadi bagian dari area
Rawdah menuju ke Gunung Uhud. Katanya, jalan itu adalah jalur lurus yang dahulu
bisa saja dilalui Rasulullah bersama para sahabatnya ketika hendak menuju medan
perang Uhud. Beliau berkata, “Bisa saja yang kita injak saat ini ada
jejak-jejak kaki Nabi dan para sahabat.” Kalimat itu langsung membuat bulu
kuduk saya berdiri. Seakan sejarah yang selama ini hanya saya baca, kini hidup
kembali di hadapan mata.
Koh Steven juga
menunjukkan lokasi-lokasi penting lainnya yang ada di sekitar masjid. “Itu dulu
rumah Abu Bakar,” katanya sambil menunjuk menara Masjid Abu Bakar. Lalu ia
menunjuk ke sisi lain, “Di sana rumah Umar bin Khattab, dan di sana rumah Ali
bin Abi Thalib.” Semuanya telah berubah, dialih fungsikan menjadi masjid di
sekitar Masjid Nabawi yang hanya dibuka saat waktu shalat, namun jejak
sejarahnya tetap hidup. Saya merasa seperti sedang berjalan bersama para
sahabat Nabi, merasakan kedekatan yang tak pernah saya bayangkan sebelumnya.
Setelah momen
penuh makna itu, Koh Steven memberikan saya hadiah: sebotol parfum yang
beraroma Hajar Aswad dan air zamzam, untuk dibawa pulang ke hotel. Bukan
sekadar benda, tapi kenangan yang terus menguar harum hingga hari ini.
Berkat informasi
dan dorongan dari beliau, siangnya saya membawa keluarga saya ikut shalat ke
Masjid Nabawi. Ternyata, pemerintah Saudi benar-benar memudahkan bagi
siapa pun yang ingin beribadah. Prosedur tidak serumit yang dibayangkan,
terutama bagi mereka yang tulus datang untuk menyambut panggilan ilahi.
Namun, perjalanan
tak selalu mulus. Ada kesalahan dari pihak travel mengenai tanggal masuk ke
Raudhah. Seluruh jamaah akhirnya tidak bisa mengunjungi taman surga itu. Tapi,
sekali lagi, qadarullah berlaku. Saya mendapat kesempatan langka masuk ke
Raudhah di malam hari, saat suhu Madinah mencapai 16 derajat. Udara dingin
membalut tubuh, namun hati terasa hangat dan air mata berurai tak tertahan. Di
sana, saya bersujud, menangis dalam doa, merasakan keheningan yang hanya diisi
oleh lantunan Qur'an, panggilan adzan, dan kicauan burung.
Hari-hari di
Madinah berjalan tenang, damai, dan suci. Tidak ada hiruk pikuk manusia, tidak
ada deru kendaraan. Yang terdengar hanya nyanyian langit dan bisikan
hati yang penuh harap. Saya mulai memahami mengapa Madinah begitu dicintai,
mengapa Rasulullah memilih kota ini sebagai tempat hijrah dan wafatnya. Tepat
seperti doa Rasulullah “Ya Allah, jadikanlah kami cinta kepada Madinah,
sebagaimana Engkau membuat kami mencintai Mekah, atau bahkan lebih besar lagi.”
Hingga tiba waktu perpisahan. Saya berdiri di depan Kubah
Hijau, berbicara dengan Rasulullah dalam hati, meluapkan perasaan yang sulit
diungkapkan. Ketika saya berbalik untuk pergi, dada saya seperti ditimpa rindu
yang baru. Rasanya seperti
meninggalkan kekasih yang sedang menatap kepergian kita dengan penuh khawatir.
Seperti ada suara yang bertanya pada diri ini: “Apakah kau akan lupa
padaku nanti? Apakah kau akan ingat pesan-pesanku?”
Air mata pun
jatuh tanpa diminta. Saya teringat Bilal bin Rabah, muazin kesayangan
Rasulullah, yang tak sanggup lagi mengumandangkan adzan setelah Rasulullah
wafat. Jika saya yang baru sebentar menginjak tanah ini saja begitu pilu,
bagaimana dengan Bilal yang hidup bersama dengan Rasulullah?
Saya tahu, saya meninggalkan
Madinah untuk menuju Makkah, kota yang dibebaskan oleh Rasulullah. Tapi berat
hati ini meninggalkan Madinah, kota cinta, kota cahaya, kota tempat Rasulullah
beristirahat.
Dan hingga hari
ini, di antara riuh kehidupan dunia, saya masih sering mendengar gema itu,
lantunan Qur'an dari Masjid Nabawi, dan pertanyaan lembut yang terus bergema di
hati: “Apakah kau akan lupa padaku nanti?”
No comments:
Post a Comment