Thursday, 26 June 2025

Komunikasi Organisasi 9 : Teori Hubungan Sosial - Komunikasi Nggak Cuma Soal Kata, Tapi Juga Rasa!






Halo teman-teman pembelajar komunikasi organisasi

Pernah nggak kalian ada di situasi kerja di mana atasan bilang "gue nggak mau tahu, yang penting selesai!" tapi justru malah pengen ngilang dari grup WA

Ternyata, banyak konflik dalam organisasi bukan soal apa yang dikatakan, tapi bagaimana caranya dikomunikasikan. Dan inilah kenapa Teori Hubungan Sosial dari Elton Mayo (dalam Robbins & Judge, 2017) masih relevan banget, bahkan di era digital kayak sekarang!

ELton Mayo mengemukakan satu hal penting bahwa karyawan itu bukan mesin. Mereka butuh dihargai, didengar, dan merasa jadi bagian dari tim.

Nah, teori ini kemudian dikenal sebagai Human Relations Theory, yang jadi pondasi penting dalam komunikasi organisasi. Intinya, hubungan sosial itu kunci performa. Bukan cuma SOP dan KPI yang bikin produktivitas naik tapi juga hubungan antar manusia.

Menariknya, hal ini juga sejalan banget dengan materi dari Pertemuan 13 “Strategi Kepemimpinan dalam Organisasi yang diampu oleh Ibu Serepina Tiur Maida, S.Sos., M.Pd., M.I.Kom. Dan beliau menjelaskan bahwa Keberhasilan organisasi tidak hanya ditentukan oleh efisiensi operasional, tetapi juga oleh kualitas hubungan antar individu di dalam organisasi (Maida, S. T. 2024).

Konflik Komunikasi: Kasus Nyata, Bukan Drama!

Penulis sendiri pernah mengalami ini saat masa percobaan kerja di perusahaan swasta. Dapat tugas besar yaitu mencari 5 lokasi pelatihan di JABODETABEK dengan kapasitas 750 orang. Tapi gaya komunikasi atasan yang sangat dominan dengan kalimatnya "gue nggak mau tahu, pokoknya selesai!" bikin tekanan makin tinggi karena tidak ada ruang diskusi.

Apa yang terjadi?
Meskipun penulis berhasil menyelesaikan tugas tapi 
muncul perasaan kecewa karena solusi lebih efisien (pakai vendor) baru disebut di akhir oleh head operasional. hal ini terjadi berulang sehingga membuat tim jadi lebih milih kerja sendiri-sendiri, tanpa melibatkan atasan dan pada akhirnya membuat Hubungan kerja jadi dingin, minim kepercayaan.

Menurut Robbins & Judge (2017) Kepemimpinan yang terlalu mengandalkan tekanan tanpa membangun hubungan dapat menurunkan moral kerja dan menghambat kreativitas tim.

Dan hal ini pun dijelaskan kembali pada sesi 13 perkuliahan oleh Ibu Sere dalam mata kuliah Komunikasi Organisasi bahwa pemimpin yang mengedepankan empati, komunikasi terbuka, serta penghargaan terhadap setiap individu dalam organisasi cenderung menciptakan suasana kerja yang kondusif dan inovatif. (Maida, S. T. 2024)

Tapi sayangnya, itu nggak terjadi dalam kasus ini. Gaya komunikasi satu arah malah bikin tim bergerak sendiri, bikin “aliansi diam-diam”, dan secara perlahan menyingkirkan peran atasan dari proses tim.


Kenapa Teori Mayo Bisa Jadi Solusi?

  1. Manusia Butuh Dihargai, Bukan Dibentak.
    Komunikasi dua arah merupakan komunikasi sehat. Kalau bawahan cuma disuruh tapi nggak diajak bicara, jangan heran kalau mereka jadi pasif atau bahkan silent quitting.

  2. Perhatian Sosial Meningkatkan Loyalitas.
    Kadang bukan bonus yang bikin orang betah kerja, tapi perasaan dihargai dan didengarkan.

  3. Bukan Cuma Instruksi, Tapi Interaksi.
    Atasan yang mau mendengar bisa menghindari banyak miskomunikasi, apalagi di era chat & email yang minim ekspresi.


Strategi Biar Nggak Makin Toxic

Latih Komunikasi Asertif
Biar atasan bisa ngomong tegas tanpa terdengar marah, dan bawahan bisa menyampaikan pendapat tanpa takut dihakimi.

Etika Komunikasi Digital
Gunakan kata-kata yang tenang di email atau chat. Jangan asal capslock atau spam tanda seru. apalagi font dengan warna merah di dalam grup terbuka (Contoh: “URGENT!!!” bisa bikin jantung copot duluan)

Gunakan 360 Feedback
Biar komunikasi bukan cuma top down. Bawahan juga punya hak untuk menilai dan memberi saran.

Mediasi HR
Kalau konflik mulai mengganggu tim, jangan ragu minta bantuan pihak ketiga yang netral.


Jadi, Komunikasi Itu Soal Apa?

Teori Mayo mengajarkan kita bahwa komunikasi dalam organisasi bukan sekadar alat penyampai pesan, tapi jembatan hubungan sosial. Kalau jembatannya rapuh, ya koneksinya bakal putus.

Dan dalam kasus tadi, bisa kita lihat:

  • Gaya atasan yang terlalu kaku membuat bikin relasi jadi formal & hambar.

  • Kurang ruang untuk diskusi membuat bikin bawahan ambil jalan sendiri.

  • Komunikasi satu arah dapat mengakibatkan konflik yang susah dideteksi.


Kesimpulan

Kalau mau organisasi lebih produktif, bukan cuma sistem kerja yang perlu diubah, tapi juga cara berkomunikasi antar manusianya.
Ingat, kadang masalah bukan di apa yang dikatakan, tapi di bagaimana cara mengatakannya.

Mulailah dari hal kecil:

  • Dengarkan lebih banyak.

  • Bicara dengan empati.

  • Gunakan komunikasi dua arah.

Karena organisasi hebat bukan cuma soal target tercapai, tapi soal manusia yang tumbuh bersama.

Referensi:

1. Mayo dalam Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2017). Organizational Behavior (17th ed.). Pearson Education.
2. Maida, S. T. (2024). Strategi Kepemimpinan dalam Organisasi Materi presentasi PowerPoint, Pertemuan 13. Program Studi Ilmu Komunikasi, Universitas Mpu Tantular.


Tuesday, 3 June 2025

Komunikasi Organisasi 8 : Perubahan Bikin Emosi? Kenalan Dulu Sama Model Kübler-Ross!




Halo teman-teman!

Pernah nggak sih kamu ngerasa campur aduk waktu dikasih kabar soal perubahan di kantor?
Baru denger tim mau dirombak aja udah bikin kepala panas, hati galau, dan pikiran bingung. Tenang, kamu nggak sendiri emosi campur aduk itu wajar banget.

Dan serunya, ada satu model psikologis yang bisa bantu kamu paham kenapa kita bereaksi seperti itu saat perubahan datang. Namanya: Model Kübler-Ross.


Siapa sih Elisabeth Kübler-Ross?

Elisabeth Kübler-Ross adalah psikiater asal Swiss-Amerika yang memperkenalkan Model Lima Tahap ini dalam bukunya "On Death and Dying" tahun 1969. Awalnya dipakai untuk memahami respon orang saat menghadapi kehilangan besar seperti kematian. Tapi sekarang, model ini juga sering dipakai dalam dunia kerja, organisasi, bahkan pengembangan diri  karena ternyata perubahan juga bisa terasa seperti kehilangan.

Nah, ini dia lima tahapnya! Coba cek, kamu pernah ngalamin yang mana?

1. Denial (Penolakan)
“Ah masa sih? Nggak mungkin segitunya deh.”

Tahap pertama ini bikin kita menyangkal kenyataan. Misalnya pas dengar sistem kerja bakal berubah total, reaksi spontan kita bisa jadi: “Ah ini cuma wacana.”
Tapi denial terlalu lama bisa bikin kita ketinggalan langkah.

2. Anger (Marah)
“Kenapa sih harus begini? Siapa sih yang bikin aturan ini?”

Mulai sadar bahwa perubahan itu nyata, kita pun mulai kesal. Bisa marah ke sistem, ke atasan, bahkan ke rekan kerja.
Fase ini penuh emosi, dan penting buat ditangani dengan komunikasi terbuka dan empati.

3. Bargaining (Tawar-menawar)
“Gimana kalau sistem lamanya masih dipakai aja setengah-setengah?”

Ini fase kompromi. Kita mulai mencari cara buat tetap nyaman sambil sedikit berubah. Tapi kadang ini cuma cara kita menunda penyesuaian sebenarnya.


4. Depression (Sedih atau Frustrasi)
“Kayaknya ini terlalu sulit. Gue nggak sanggup.”

Mulai sadar nggak ada jalan mundur, kita bisa merasa lelah, pesimis, atau kehilangan motivasi.
Fase ini butuh dukungan, bukan tuntutan.

5. Acceptance (Penerimaan)
“Oke, ini memang harus terjadi. Sekarang gue fokus adaptasi.”

Akhirnya kita menerima kenyataan dan mulai mencari solusi. Di fase ini, kita mulai berpikir lebih jernih dan bertindak secara konstruktif.


Kenapa Model Ini Masih Relevan?

Karena manusia tetap manusia.
Mau di tahun 1969 atau 2025, perubahan tetap memicu reaksi emosional. Dan dengan memahami tahapan ini, kita jadi lebih peka baik ke diri sendiri maupun orang lain dalam menghadapi masa transisi.

Model ini cocok banget dipakai oleh manajer, HR, atau siapa pun yang sedang memimpin tim melalui perubahan besar. Biar nggak sekadar “push perubahan,” tapi juga bisa dampingi emosi di baliknya.


Kesimpulan: Pahami Emosi, Biar Perubahan Nggak Bikin Burnout

Perubahan itu perlu, tapi nggak semua orang siap secara mental. Dengan memahami Model Kübler-Ross, kamu bisa lebih bijak merespons dan bantu orang lain buat move on lebih sehat.

Ingat, semua orang punya waktunya sendiri. Yang penting: jangan buru-buru, jangan maksa, dan tetap saling dukung.

Kalau kamu merasa tulisan ini relate banget sama kondisi tim kamu, boleh banget di-share buat bahan refleksi bareng!


Sumber:
Model ini diperkenalkan oleh Elisabeth Kübler-Ross dalam buku On Death and Dying (1969), dan kini digunakan secara luas untuk memahami dinamika perubahan, transisi emosional, dan manajemen perubahan di berbagai konteks.

Komunikasi Organisasi 7 : Yuk, Kenalan Sama Model Delapan Langkah John Kotter!




Halo teman-teman!

Pernah nggak sih kamu ngalamin perubahan di tempat kerja kayak pindah divisi, ganti sistem kerja, atau bahkan rebranding tapi rasanya timmu kayak nggak siap, bingung, atau malah nolak perubahan itu?

Tenang, kamu nggak sendiri. Banyak organisasi ngalamin hal yang sama. Dan kabar baiknya, ada satu model keren dari John Kotter yang bisa bantu kamu dan tim lebih siap dan kompak menghadapi perubahan: Model 8 Langkah Perubahan.

Siapa sih John Kotter?

John P. Kotter adalah seorang profesor di Harvard Business School dan salah satu pakar manajemen perubahan paling berpengaruh di dunia. Ia memperkenalkan Model 8 Langkah Perubahan ini dalam bukunya yang terkenal berjudul Leading Change pada tahun 1996.

Meskipun teorinya udah berusia lebih dari dua dekade, model ini masih sangat relevan sampai sekarang, apalagi di era digital dan dunia kerja yang serba cepat kayak sekarang. Kenapa? Karena inti dari perubahan tetap sama: menggerakkan orang untuk beradaptasi dan bertindak.

Nah, yuk kita bahas satu per satu langkahnya biar kamu nggak cuma jadi penonton perubahan, tapi juga jadi penggeraknya!

1. Bangun Rasa Mendesak

“Ayo, ini penting banget buat kita!”

Kalau nggak ada urgensi, orang bakal mikir: “Ngapain sih berubah?”
Makanya, tunjukin alasan kenapa perubahan ini penting. Bisa lewat data, cerita nyata, atau gambaran ancaman kalau tetap di zona nyaman. Intinya: buat semua merasa, “Kita harus mulai sekarang.”

2. Bentuk Tim Pendorong Perubahan

“Sendiri nggak cukup, ayo bentuk pasukan!”

Nggak bisa jalan sendiri, kamu butuh tim yang kredibel dan punya pengaruh. Pilih orang-orang dari berbagai divisi yang bisa jadi role model dan pendorong semangat buat lainnya.

3. Buat Visi dan Strategi Perubahan

“Tujuannya ke mana, sih?”

Perubahan itu kayak naik kapal: harus tahu pelabuhan akhirnya.
Jadi, bikin visi yang jelas, inspiratif, dan gampang diingat. Lalu, susun langkah-langkah strategis biar semua tahu harus ngapain.

4. Komunikasikan Visi

“Jangan cuma disimpan di slide presentasi!”

Visi dan strategi itu harus disebarluaskan, bukan disimpan di dokumen. Sampaikan lewat berbagai media, forum, bahkan obrolan santai. Dan yang penting: konsisten dan kontinyu.

5. Beri Wewenang dan Hilangkan Hambatan

“Biar tim bisa gerak bebas dan cepat.”

Sering kali, perubahan mandek karena terlalu banyak birokrasi atau atasan yang nggak mendukung.
Nah, tugas kamu adalah bantu menghapus hambatan itu. Kasih tim kepercayaan dan alat yang mereka butuhkan buat eksekusi.

6. Ciptakan Kemenangan Jangka Pendek

“Ayo rayakan keberhasilan kecil!”

Perubahan besar butuh waktu. Tapi kalau nunggu hasil akhir baru tepuk tangan, tim bisa lelah duluan.
Makanya, rayakan tiap pencapaian kecil. Itu bikin semangat tetap menyala.

7. Konsolidasikan Perubahan dan Terus Dorong Perbaikan

“Jangan berhenti di tengah jalan.”

Jangan cepat puas. Evaluasi terus, belajar dari yang udah dicapai, dan perbaiki bagian yang masih kurang.
Ingat: perubahan itu proses, bukan proyek semalam.

8. Jadikan Perubahan sebagai Budaya

“Biar jadi DNA organisasi.”

Kalau perubahan cuma dianggap proyek sementara, lama-lama bakal balik ke pola lama.
Jadi, tanamkan nilai-nilai baru itu ke budaya kerja: mulai dari cara rekrut orang, sistem penilaian, sampai gaya kepemimpinan.

Kesimpulan: Perubahan Butuh Strategi, Bukan Sekadar Semangat

Banyak orang pengen berubah, tapi nggak semua tahu bagaimana cara berubah.
Dengan 8 langkah dari John Kotter ini, kamu bisa bantu organisasi bukan cuma bertahan, tapi juga tumbuh di tengah tantangan.

Ingat: perubahan itu nggak selalu mudah, tapi bukan berarti mustahil. Dan model ini udah terbukti bekerja di berbagai organisasi dari perusahaan multinasional sampai startup rintisan.


Sumber:
Model ini dikembangkan oleh John P. Kotter dalam bukunya Leading Change (1996).
Untuk informasi lebih lanjut dan contoh implementasinya, kamu bisa cek buku aslinya atau artikel-artikel manajemen perubahan terpercaya.

Komunikasi Organisasi 10 : Kampus Bukan Cuma Kuliah: Ada Dosen, Serikat, dan Cerita!

Halo teman-teman pembelajar komunikasi organisasi, Apa iya kampus itu cuma tempat belajar dan ujian? Padahal di balik aktivitas akademik, a...